LAHAN LUAS DAN TANAH SUBUR, KOK PETANI INDONESIA BELUM SEJAHTERA?

Petani adalah profesi yang kira-kira umurnya setara dengan peradaban di Dunia ini. Namun, mendiskusikannya seperti tidak pernah habis. Sering kali hangat untuk diperbincangkan, diperdebatkan di forum-forum seminar dan menghiasi diberbagai perkumpulan. Titik krusialnya pasti dalam konteks pengupayaan dalam mensejahterakan petani. Kedudukan petani di Indonesia layaknya seperti setarikan nafas pada upaya memajukan negara, jika persoalan kesejahteraan petani mampu diatasi, rasanya  separuh masalah bangsa ini sudah teratasi. Setiap kali data BPS (Badan Pusat Statistik) dikeluarkan, maka kita akan menemukan satu fakta bahwa penduduk yang bekerja di sektor pertanian selalu lebih miskin dibandingkan penduduk yang sumber utama pendapatannya dari sektor lain. Meskipun periode para petinggi negara  berganti berapa kali pun petani nampaknya selalu menjadi pihak yang kalah. Padahal, para guru di bangku sekolah mengajarkan bahwa Indonesia merupakan negara agraris dengan mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani Sesungguhnya sesulit apa mensejahterakan petani? dimana titik persoalan terberat petani?.

Sebelum kita menggali masalah yang berhubungan dengan kesejahteraan petani, terlebih dahulu kita harus memahami tiga pendekatan, yakni pendekatan historis (sejarah), pendekatan cultular (budaya),  dan pendekatan income (ekonomi).  Jadi masalah kesejahteraan petani di Indonesia, dimana pemerintah melalui kepala negara  memberikan sologan berupa “ayo genjot produksi pangan (pertanian)”, akan tetapi akar atau asal permasalahan tidak di teliti dan tidak dipahami. Sehingga sangat sulit untuk mensejahterakan petani di Indonesia.

Mengapa sangat sulit untuk mensejahterakan petani di Indonesia, ada tiga pendekatan yang menjadi sebab sulitnya hal tersebut. Pertama, pendekatan historis (sejarah). Maksudnya, petani adalah kelompok masyarakat yang paling lemah. Petani merupakan orang orang yang mudah untuk dieksploitasi dan minim perlawanan. Sejarah membuktikan, sejak zaman penjajahan yang paling tertindas dan menderita adalah petani, yang diwajibkan melakukan tanam paksa waktu itu adalah petani, yang kemudian diwajibkan membayar pemerintah adalah petani. Lalu apa yang mereka lakukan saat itu hingga saat ini?Para petani  enggan mengambil resiko dan berpikir rasional yang penting keluarganya masih bisa makan. 

Kedua, pendekatan cultural (budaya). Maksudnya, kebanyakan masyarakat umum memarjinalkan para petani, menganggap rendah orang yang bekerja sebagai petani. Sehingga, minat generasi muda untuk meneruskan dan bergelut dibidang pangan (pertanian) semakin rendah. Bukan hanya itu saja, di bangku sekolah (TK, SD, SMP, dll) sangat jarang kita temukan siswa siswi yang berbicara lantang ketika ditanya cita citanya kemudia menjawab menjadi seorang petani. Bahkan, ketika siswa siswi ditanya mengenai mata pencaharian orang tuanya, mereka merasa malu untuk mengungkapkan bahwa orang tuanya seorang petani. 

Ketiga, pendekatan income (ekonomi). Maksudnya, pendapatan yang diperoleh petani sangat minim. Hal tersebut merupakan salah satu alasan rendahnya minat sarjana petani untuk menggeluti sektor pertanian. Mereka yang mengecap pendidikan tinggi, tentu berharap memperoleh kesejahteraan ekonomi melalui pendapatan yang menjanjikan. Sektor pertanian banyak ditinggalkan karena rendahnya pendapatan. yang dihasilkan. Padahal ada lebih dari 200 perguruan tinggi di Indonesia yang menghasilkan sarjana-sarjana pertanian setiap tahun. Bukannya bekerja di sektor pertanian, kebanyakan dari sarjana-sarjana pertanian malah memilih terjun pada sektor lain. Data BPS menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan bersih yang diperoleh oleh seorang pengusaha (yang berusaha) di sektor pertanian adalah Rp 1,34 juta per bulan. Sedangkan bagi mereka yang bekerja sebagai pekerja bebas di sektor pertanian, rata-rata pendapatan bersih yang diperoleh selama sebulan hanya mencapai Rp 1,05 juta. Nilai ini bahkan lebih rendah dari rata-rata upah buruh nasional yang mencapai Rp 2,86 juta per bulan. Dari hal tersebut, apakah kesejahteraan bagi rakyat Indonesia hanya bagi selain petani?.

Tidak bisa dipungkiri bahwa bekerja pada sektor pertanian sangat tidak menggiurkan, jika dilirik dari rata-rata pendapatan bersih yang diterima saat ini. Apabila kondisi ini tidak kunjung membaik, tak heran bila regenerasi tenaga kerja pada sektor pertanian pun akan semakin langka. Sebab para pencari kerja tentu akan mempertimbangan pendapatan sebagai penentu mata pencaharian yang akan digelutinya, terlebih bagi mereka yang memiliki pendidikan tinggi.

Pada sektor pertanian, kaum kapitalis menghimpit petani dari dua sisi. Sisi pertama, dari sektor produksi. Dari hulu ke hilir, kaum kapitalis  menguasai sarana produksi seperti benih, pupuk, dan pestisida. Mereka memiliki kekuatan untuk mengatur harga, sehingga petani membeli dengan harga yang lebih mahal, sehingga menyebabkan tingginya biaya produksi. Adanya biaya produksi yang tinggi tidak dan tidak diimbangi dengan tingginya harga jual hasil pertanian dikarenakan petani tidak mampu menentukan harga jual. Walaupun pemerintah sudah menentukan harga standar, akan tetapi para pengepul tidak akan patuh, mereka bebas untuk menentukan harga. Sementara bagi petani, harga murah tak menjadi soal yang penting hasil panen laku terjual.

Sisi kedua, kaum kapitalis menghimpit petani dari sektor distribusi. Para pemilik modal selain menguasai sektor produksi juga menguasai sektor distribusi. Harga pangan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan pasokan, permintaan di pasaran dan kelancaran distribusi. Jika  rantai distribusi pangan sepenuhnya dikuasai oleh pemilik modal, maka dengan leluasa mereka bisa mengatur ketersediaan pasokan dan permintaan pasar. Artinya mereka bisa saja menciptakan krisis buatan dengan menimbun atau menutup distribusi pangan, sehingga terjadi kelangkaan dan harga otomatis naik. Sebaliknya, para spekulan dan pemilik modal bisa mengatur keadaan dan menciptakan over supply hasil pertanian. Apalagi jika tiba masa panen raya, akan selalu menjadi alasan bagi mereka untuk menurunkan harga semurah mungkin, sementara petani tidak punya pilihan lain selain menjual murah hasil pertaniannya. 

Dari keterangan diatas, bisa ditarik benang merah bahwa perlu ada perombakan besar dan penanganan serius yang dilakukan di sektor pertanian Indonesia. Meningkatkan pendapatan tenaga kerja di sektor pertanian menjadi sangat penting untuk menumbuhkan minat regenerasi di masa yang akan datang. Mengapa  demikian? karena dasar utama atau pokoknya, jika pendapatan petani tinggi, maka produksi padi akan membaik, generasi muda akan berbondong-bondong untuk terjun ke dunia pertanian, sehingga bisa membantu untuk mengurangi impor beras dari luar negeri. Kita ambil saja contohnya seperti (PNS) Pegawai  Negeri Sipil, income pendapatannya sangat tinggi, sehingga banyak orang-orang yang berbondong-bondong   mendaftarkan diri untuk menjadi (PNS) Pegawai  Negeri Sipil. Sebab, bagaimanapun pertanian adalah tiang penyangga kebutuhan pangan penduduk Indonesia yang jumlahnya kian bertambah dari tahun ke tahun. Jangan sampai ketersediaan pangan di Indonesia terus tergerus, hanya karena minimnya regenerasi yang tergiur untuk bekerja pada sektor pertanian.


Penanggungjawab     : Moh. Zakaria Anshori

Pembina                    : Titis Surya Maha Rianti, SP., MP

Pimpinan Redaksi     : Rafli

Wakil Pimred             : M. Aqil Dzulfikri

Sekretaris                   : Nabilla Ardiyan Putri

Bendahara                  : Siti Rohmatul Mudawamah

Editor                         : Tim Humaspub 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIKLAT KEPROFESIAN MAHASISWA AGRIBISNIS (DIKMA) 2024, Sabtu 19 April dan Sabtu-Minggu 26-27 April 2025

KREATIVITAS DAN HIBURAN BERSATU DI AGRIFEST 2024